Menikahi Perempuan yang Tidak Bisa Memasak, Bolehkah









Pernikahan merupakan proses sakral yang menyatukan dua keluarga yang berbeda pendapat bahkan pandangan. Pernikahan merupakan hal yang paling diinginkan semua wanita di dunia ini. Hidup bahagia dan memperoleh keturunan itulah yang menjadi harapannya.
Pernikahan juga termasuk dalam sunnatullah yang apabila dijalankan mendapatkan pahala. Pernikahan merupakan momentum terbahagia bagi kedua mempelai, keluarga dan kerabat-kerabatnya maupun orang yang berada di sekitarnya.
Hal yang perlu disiapkan sebelum menjalani proses pernikahan biasanya mempersiapkan secara lahir maupun batin.
Orang tua dan sanak saudara biasanya menyuruh mempelai wanita untuk luluran, bersih-bersih diri dan menyiapkan semua yang berkaitan dengan pernikahan, terkait siapa yang akan di undang, makanan apa saja yang cocok untuk tamu, sourvenir untuk para undangan dan lain sebagainya.
Terkait mempelai wanita yang tidak bisa memasak, dianjurkan untuk segera belajar sebelum melangsungkan pernikahan. Karena memasak merupakan hal yang dapat menyenangkan suami.
Makan ataupun beli di warung adalah solusi terakhir ketika tidak bisa memasak. Sudah menjadi hal yang wajib ketika seorang wanita yang akil baligh belajar memasak, berpakaian, ibadah dan lain sebagainya.
Orang tua selayaknya juga mengajarkan anak terkait pembelajaran memasak, meskipun hanya sepintas.
Pembelajaran dapat di mulai ketika memasak nasi. Di zaman yang seperti ini, memasak nasi bukanlah hal yang sulit, karena adanya rice cooker yang dapat di beli di toko-toko terdekat.
Kebiasaan yang sering dilakukan ketika tidak memasak adalah membeli makanan cepat saji setiap harinya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata;
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ 
“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?”
Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci””
Kewajiban seorang istri sebenarnya hanyalah menyusui karena itu pekerjaan yang tidak dapat dilakukan para suami. Suami masih bisa mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel dan memasak.
Namun, kebiasaan yang tersebar di masyarakat adalah wanitalah yang berhak menjalankan semua pekerjaan rumah tangga dan suami hanya berhak mencari nafkah untuk keluarganya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
ثُمَّ مِنْ هَؤُلَاءِ مَنْ قَالَ: تَجِبُ الْخِدْمَةُ الْيَسِيرَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: تَجِبُ الْخِدْمَةُ بِالْمَعْرُوفِ، وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ، فَعَلَيْهَا أَنْ تَخْدُمَهُ الْخِدْمَةَ الْمَعْرُوفَةَ مِنْ مِثْلِهَا لِمِثْلِهِ، وَيَتَنَوَّعُ ذَلِكَ بِتَنَوُّعِ الْأَحْوَالِ: فَخِدْمَةُ الْبَدْوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الْقَرَوِيَّةِ، وَخِدْمَةُ الْقَوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الضَّعِيفَةِ. الفتاوى الكبرى .
“Ada ulama yang menyatakan bahwa wajib bagi istri mengurus pekerjaan rumah yang ringan. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang wajib adalah yang dianggap oleh urf (kebiasaan masyarakat). Pendapat yang terakhir inilah yang lebih tepat. Hendaklah wanita mengurus pekerjaan rumah sesuai dengan yang berlaku di masyarakatnya, itulah yang ia tunaikan pada suami. Ini semua akan berbeda-beda tergantung kondisi. Orang badui dibanding orang kota tentu berbeda dalam mengurus rumah. Begitu pula istri yang kuat dengan istri yang lemah kondisinya berbeda pula dalam hal mengurus rumah,” (Disebutkan dalam Fatawa Al Kubro).
Jadi tidak masalah menikahi wanita yang belum bisa memasak. Namun, suami haruslah ikut mensuport istri untuk belajar memasak dan bantulah istri kalian dari pekerjaan rumah, karena itu dapat menjadikan hati istri bahagia.